Perang : Perspektif Hukum Humaniter

Zonabengkulu.com – Si vis pacem, para bellum “Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang“. Demikian ungkapan Flavius Vegetius Renatus, 400 M di dalam kata pengantar De re Militari.

Kalimat filosofis di atas, sengaja saya tempatkan sebagai kalimat preambule tulisan ini karena berkaitan soal bagaimana perang dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional. Diharapkan melalui tulisan ini kita tidak hanya terjebak pada sikap dukung atau tidak mendukung atas perang yang sedang berlangsung, tetapi lebih jauh dari itu apakah perang tersebut telah mematuhi prinsip-prinsip hukum humaniter, konvensi internasional, dan piranti hukum internasional lainnya atau belum.

Perang dan damai itu, dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dalam sejarahnya, tidak ada perang yang tidak berakhir, dan tidak ada pula perdamaian yang abadi. Oleh sebab itu, benar kata Renatus, jika kita menginginkan perdamaian, maka bersiap juga menghadapi kondisi terburuk yaitu perang. Dunia telah dua kali mengalami episode perang panjang, bahkan dalam kronologis historis, dikenal dengan Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Dua perang dahsyat dan berdurasi panjang itu telah meluluhlantakkan peradaban dunia, dan masih menyisakan kesengsaraan dan nestapa bagi umat manusia sampai saat ini. Dampak bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, 75 tahun lalu masih membekas dan telah menyebabkan penderitaan panjang bagi bangsa Jepang.

Dampak radiasi radioaktif dari senjata nuklir yang dijatuhkan sekutu waktu itu masih membekas sampai saat ini. Peristiwa inilah yang melahirkan konvensi internasional negara-negara di dunia untuk meminimalisir dan bahkan melarang penggunaan senjata nuklir untuk tujuan perang. Termasuk.juga peristiwa Holocaust, yang menyebabkan hampir 1 (satu) juta orang Yahudi terbunuh oleh tentara Nazi Jerman dibawah kepemimpinan diktator Adolf Hitler. Terakhir kasus genosida muslim Bosnia oleh tentara Serbia, yang mengakibatkan Slobodan Milosevic diseret ke pengadilan HAM Internasional di Den Haag dengan tuduhan penjahat perang/kemanusiaan.

Terakhir kita menyaksikan perang terbesar abad ini terjadi antara Rusia vs Ukraina. Negara yang sebelumnya satu rahim di dalam Uni Soviet ini, sekarang harus berhadapan dalam perang yang paling mematikan. Bahkan, tidak salah jika banyak analis militer mengatakan, bahwa perang Rusia – Ukraina ini terdahsyat abad ini dan berpotensi memicu Perang Dunia III, yang diprediksikan sebab titik akhir peradaban bumi atau dalam istilah agama “kiamat kubro”. Soalnya, perang ini akan melibatkan persenjataan super canggih, termasuk didalamnya penggunaan senjata pemusnah massal, yaitu bom nuklir dan senjata biologi. Jika ini terjadi, itulah yang dikatakan kita akan memasuki akhir zaman seperti yang divisualkan dalam film Armageddon.
Hukum perang atau yang sering disebut dengan Hukum Humaniter Internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mengutip pendapat Prof Mochtar Kusumaatmadja, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa-bangsa. Selanjutnya bahwa tidaklah mengherankan apabila perkembangan hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang berdiri sendiri dimulai dengan tulisan-tulisan mengenai hukum perang.

Mengacu pada pendapat J. G. Starke sebagaimana dikutip dari Jendela Hukum (2022), hukum humaniter merupakan seperangkat aturan tentang penggunaan kekerasan yang dapat digunakan untuk menundukkan pihak musuh dan prinsip-prinsip yang mengatur perlakuan terhadap individu dalam perang dan konflik bersenjata. Adapun tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.

Masih mengutip dari opini yang ditulis Jendela Hukum, diuraikan Hukum humaniter pada intinya terdiri dari dua bagian, pertama. Ketentuan yang mengatur tentang cara/pelaksanaan permusuhan (conduct of hostilities) yang meliputi ketentuan yang mengatur alat/sarana (means) dan cara/metode (methods) berperang. Hal tersebut diatur dalam Konvensi Den Haag 1907 dan lazim disebut dengan Hukum Den Haag.

Kedua, berisi ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap korban perang (protection of war victims). Hal tersebut terutama diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 yang lazim disebut dengan Hukum Jenewa.

Prinsip Dasar Hukum Humaniter Internasional. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar perang dapat dilakukan dengan lebih memerhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Ada 8 prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional sebagaimana dikutip dari Buku Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional disebut HHI, yaitu meliputi prinsip :

  1. Kemanusiaan;
  2. Kepentingan (Necessity);
  3. Proporsional (Promotional);
  4. Pembedaan (Description);
  5. Prohibition of causing unnecessary (larangan menyebabkan penderitaan yang tidak seharusnya);
  6. Ketentuan minimal HHI;
  7. Pemisahan antara ius ad bellum dan ius in bello; dan
  8. Tanggung jawab dalam pelaksanaan dan penegakan hukum humaniter internasional.

Sementara prinsip hukum humaniter dikutip dari Opini Jendela Hukum adalah sebagai berikut:

Pertama, prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan (distinction between civilians and combatants).

Kedua, prinsip larangan menyerang terhadap mereka yang termasuk dalam hors de combat (prohibition of attack against those hors de combat).

Ketiga, prinsip larangan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu (prohibition on the infliction of unnecessary suffering).

Keempat, prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality). Kelima, gagasan tentang kepentingan (the notion of necessity). Keenam, prinsip kemanusiaan the principle of humanity. (Nnd)

__Terbit pada
4 Maret 2022
__Kategori
Uncategorized

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *